Seperti Rasa Secangkir Kopi

Isfan Fajar Sukarno
3 min readJul 7, 2021

--

“Pahit hanyalah tabir dari banyak rasa yang tersembunyi”

from google with keyword “A cup of coffe”

Dingin malam kota perantauanku masih tersisa petrichor wangi tanah usai turunnya hujan malam itu. Sebuah aroma yang mengirim sinyal elektron sel otakku menembus ruang waktu mengingatkan kepada kehidupan yang mengajarkanku hidup. Jatuh cinta, bahagia, tawa, sedih, marah, kecewa semuanya berputar layaknya film menampilkan gambaran yang hanya mampu aku ingat setiap detail peristiwanya.

Satu persatu setiap frame dan scene memori itu terus berjalan, setiap sepersekian detik itu memberi pelajaran tentang apa arti dari setiap rasa yang aku ungkapkan. Nasihat selalu aku ingat tentang menerima, terimalah semua dan setiap bagian dari hidupmu maka kamu akan sembuh. Muncul dalam benak telah cukupkah aku mengenal aku?

Dalam lamunanku aku teringat secangkir kopi yang aku pesan untuk menghangatkanku dalam kedinginan. Meminum sececap kopi pahit namun rasa pahit itu tidak benar — benar pahit begitu kaya rasa setelahnya asam buah, harum biji kopi, sedikit aroma madu. Baru aku tersadar, seperti meminum kopi seperti itulah diri ini hidup.

Mengambil keputusan untuk meminum secangkir kopi tanpa gula dan rasa pahit adalah konsekuensinya. Menerima setiap cecap dan tegukan pahit itu menyingkapkan rasa yang lebih kaya daripada hanya sekedar pahit.

from google with keyword “heartbreak”

Pernah aku merasakan sakit yang amat sangat hingga berfikir untuk mengakhiri sakit ini dengan cara apapun. Karena teringat setiap frame dan scene memori indah ini begitu menyiksa pada akhirnya. Sebuah penerimaan tidak begitu mudah bagi diri dan hati ini, menyangkal dan terus menyangkal, “Aku kuat, aku tidak apa apa” sebuah tindakan bodoh dari diri yang sedang sakit. Daya hidup ini terbuang percuma dalam penyangkalan akan keadaan, sampai ketika satu kondisi mengubah paradigmaku untuk hidup.

Diriku masih memiliki aku kemudian aku menasihati aku “untuk apa dilupakan jika bisa mengingat dengan prespektif yang tidak menyakitkan”. Satu langkah untuk itu diri ini harus menerima setiap sedih, sakit, kecewa, setiap sudut hitam dan putih kehidupan. Sebuah tindakan penyangkalan terhadap sakit akan membawa kepada lingkaran sesal sengsara tiada akhir.

from google with keyword “life”

Seperti meminum kopi itu, setiap pahitnya aku mulai menerima bersama dengan keluarnya air mata “Terimakasih akan kesempatan dimana bahagiaku tidak sia — sia, terimakasih untuk kesempatan setidaknya aku pernah mencintai tanpa karena”. Semakin lama rasa sakit pahit itu memberi diri ini nafas panjang kembali untuk hidup. Sakit mengajarkanku untuk melihat kehidupan selalu dari sisi lain yang tidak biasa.

Dimana rezeki tidak selalu dalam bentuk materi, bahwa sesederhana sebuah percakapan, pertemuan, perpisahan, sehat dan sakit merupakan rezeki yang tak diakui.

Mungkin sakit itu masih sering menghampiri dalam hati dan fikiran ini. Tapi apa gunanya seorang aku untuk mengendalikan keduanya. Seorang berkata bahwa “fikiran kita seperti belut sangat licin bisa lari kesana kemari, adanya diri untuk mengendalikannya”. Mungkin itu hakekat seorang pemimpin, menjadi tuan atas diri sendiri berkawan dengan hati dan fikiran.

--

--

Isfan Fajar Sukarno
Isfan Fajar Sukarno

Written by Isfan Fajar Sukarno

Tidak mungkin ada dua cinta dalam satu hati sebagaimana dalam hidup ini hanya ada satu Tuhan