Papa

Isfan Fajar Sukarno
4 min readFeb 28, 2021

--

“Seorang malaikat penjaga dari tuhan untuk kami”

Papa, begitu aku diajarkan untuk memanggilnya. Seorang laki — laki yang begitu aku hadir di dunia yang asing ini dia menyambutku dengan gembira. Entah mengapa menulis tentangnya tidak semudah menuliskan kenangan lainku. Sungguh apapun yang tertulis di sini tidak akan pernah dapat menggambarkan seluruh curahan kasih sayangnya. Laki — laki hebat bagiku bagi Mama dan Adik ku.

Kecil diri ini kala itu, papa menggendongku dalam dekapannya. Dingin malam di teras rumah kecil kami, dia satu — satunya kehangatanku malam itu. Bisa ku ingat bagaimana suara itu mengalir kedalam relung telinga merasuk menenangkan. Bukan nyanyian atau syair yang keluar dari mulutnya, berulangkali dibacakannya untukku belakangan aku tahu itu Surah Al-Fatihah.

Arrahmannirahim… begitu aku mendengarnya aku tidak tau apa harapannya kala itu, belakangan aku paham dua kata yang diulang dua kali itu. Ar Rahman kasihNya yang luas dan Ar Rahim sayangNya yang dalam. Mungkin itu gambaran dari kasih dan sayang Tuhan yang dimanifestasikan dalam bentuk seorang Laki — laki hebatku, papaku. Atau dia ingin aku menjadi orang yang penuh kasih sayang? Entahlah, biar hal itu menjadi misteri.

Papa, terimakasih telah mengharapkanku, terimakasih telah mendoakanku, terimakasih telah mencintaiku.

Masih terbayang memoriku kilatan ingatan raut muka khawatirnya kala aku mendapat luka pertamaku. Pagi itu penuh baju kerjanya dengan darah dari kepalaku, segera dalam gendongnya dibawa aku dan dia obati aku. Hingga timbul senyumku lagi karenanya.

Aku tidak pernah tau kala itu seperti apa diriku, lucukah? nakal atau menggemaskan?. Tidak pernah tau diriku seperti apa sampai tanpa sengaja dompetmu tertinggal dan aku beranikan membukanya. Tertuju pandanganku pada foto di balik mika bening. Seorang anak lucu dengan penutup kepala putih dan baju putih dengan latar biru.

“Papa, ini siapa?” tanyaku

“Ini kamu waktu kecil fan.”

“Kok lucu”

“Sekarang juga masih lucu kamu anak pintar”

Pertama itu aku ketahui dalam dompetnya, papa selalu menyimpan fotoku ketika bayi. Beranjak besar aku sekolah di taman kanak — kanak dan dia berpesan dihari pertamaku

“Jangan nakal, soalnya papa selalu lihat kamu waktu kerja yang baik di sekolah”

Aku menurutinya menjaga sikapku takut sepulang sekolah dia akan marah bila aku nakal. Belakangan aku ketahui bukan dari alat canggih dia melihatku dari dompetnya fotoku yang kecil itu dia meluangkan sedikit waktunya untuk melihat di sela pekerjaannya.

Banyak kisah manusia — manusia kuat di kolong langit ini, tapi belum pernah aku melihat langsung manusia sekuat papa. Sewaktu kecilku sekalipun tidak pernah aku lihatnya marah. Sepulangnya bekerja dengan segera aku beranjak menghampirinya tapi mama bilang

“Biar papa bersih — bersih dulu ganti baju soalnya kotor habis kerja”

Selepas itu dia menghampiriku dengan peluk hangatnya. Tidak pernah aku tahu masalah apa dalam kesehariannya yang aku tahu senyum gembiranya ketika pulang menyejukkan kami yang menunggunya di rumah.

Dia tidak pernah bercerita langsung kala mengalami suatu masalah. Beberapa hari bahkan beberapa bulan setelahnya baru dia cerita. Seperti ketika mengalami kecelakaan karena lelah beraktivitas seharian papa tidak cerita ke aku. Malah aku mendengarnya dari kawan baikku, seketika aku sedih dan kesal. Tapi baiknya kawanku tenangkan diri ini

“Mungkin biar kamu tidak kepikiran, andai kamu tahu langsung kamu pasti bergegas pulang kan?”

Bersyukur aku mendengar kabarnya papa baik — baik saja tidak luka sedikitpun walau kendaraannya rusak berat. Beruntung pula aku mendapat kabar dan ditenangkan oleh kawanku.

Beberapa hal membuatku kesal terkadang jika papa marah — marah disaat aku dan adikku sedang lelah. Bagaimanapun juga itulah papa. Pernah ketika aku membantunya di belakang rumah aku menatap wajahnya dari dekat. Mendadak diri ini sedih, terlihat wajahnya mulai keriput senyumnya menua tanpa aku sadari selama ini.

Masih sanggup ku bendung air mataku di hadapannya. Dalam kesendirian di kamarku tak sanggup lagi menahannya menetes air mata ini. Sadar bahwa belum dapat diri ini membawa bahagia untuknya namun sang waktu membawanya semakin tua.

Dia menanamkan dalam benakku sebuah impian yang entah saat itu mungkin sulit untuk aku gapai.

“Belajar, belajar, belajar, boleh nakal sedikit aja pinternya yang banyak”

Begitu katanya setiap malam dan saat aku akan berangkat sekolah. Sebuah ucapan yang tertanam dalam bawah sadarku. Namun aku tidak yakin apakah sudah pintar sekarang? rasanya tidak juga. Aku masih minus dalam beberapa hal walaupun beberapa hal lain aku berani untuk unjuk gigi.

Aku yang sampai sekarang karena didikan darinya. Kegemaranku membaca, terutama berbau sejarah karena dia selalu mendongengkan aku tentang kehebatan negeri ini. Hingga aku ingin mengetahui lebih banyak tentang itu. Pernah papa mungkin agak kesal jika aku terlalu banyak membeli buku

“Kalo buku bisa kamu pinjam dari pepustakaan jangan kamu beli”

“Lha justru aku beli buku karena gak ada di perpustakaan Pa” sahutku

Kadang suka heran padahal papa yang ingin aku seperti ini. Banyak membaca menjadi kutu buku apa karena mungkin aku terlalu kaffah haha… Akibatnya beberapa buku aku telan Sejarah, Sastra, Agama, Politik, Roman, Novel

Satu hal yang tidak pernah aku lakukan kepada Papa dan Mama. Sekalipun perintah mereka tidak pernah aku lawan meskipun dalam melaksanakannya terkadang agak lama. Tapi satu kali aku coba bernegosiasi untuk menentukan pilihanku dalam kuliah. Papa Mama ingin aku di jurusan A dan aku ingin di jurusan B. Niat mereka baik untuk masa depanku tetapi jelas aku menolak karena di Universitas nanti aku ingin murni belajar tanpa tuntutan prospek kerja.

Ini karena Papa sendiri yang bercerita kepadaku banyak temannya lulusan perguruan tinggi tapi dagang di pasar. Diskusi panjang malam itu aku pertama kalinya berani berbicara dari hatiku. Aku mulai awal pemberontakanku dengan sejumlah kata

“Kalau pekerjaan kan urusan nanti, aku masih pengen belajar di jurusan yang aku suka. Papa yang bilang sendiri kalau belum tentu lulusan perguruan tinggi bisa kerja kantoran”

Namun aku menawarkan jalan tengah, pikirku jika aku tidak bisa mendapatkan yang aku mau begitu juga mereka. Pilihanku jatuh ke tempatku belajar sekarang jurusan sosiologi di sini aku mendapatkan yang Papa dan Mama ingin dan yang aku mau.

Agaknya dalam memilih jurusan kuliah itu sebenarnya aku tidak melawan kedua orangtuaku, terkhusus Papa. Karena pikirku hanya terbawa apa yang papa mau dari dulu

“Belajar, belajar, belajar, boleh nakal sedikit aja pinternya yang banyak”

Iya itulah papaku, disini tak pernah sekalipun lepas untuk mendoakannya mama dan adikku juga.

Untuk Papa terimakasih terimakasih telah menghantarkanku sampai sekarang dan seterusnya.

--

--

Isfan Fajar Sukarno
Isfan Fajar Sukarno

Written by Isfan Fajar Sukarno

Tidak mungkin ada dua cinta dalam satu hati sebagaimana dalam hidup ini hanya ada satu Tuhan

No responses yet